Kali ini bukan tentang cinta.
Sore itu hujan. Teringat masa kecil bersama sahabat-sahabat kecil dulu, dimana hujan adalah alarm untuk bersuka cita dan bergembira.
Sebutlah hujan-hujanan, dimana kita esoknya demam
menggigil, dimarahi orang tua, dan tidak masuk sekolah karena flu. Cuma obat
dan teh hangat teman setelah kejadian itu.
Tak ada rasa menyesal. Malah rasa ingin
mengulanginya semakin membesar.
Mungkin, masa kecilku seperti foto diatas. Dimana tak
mungkin waktu itu aku mem-foto kejadian ketika hujan-hujanan, waktu itu. Mengingat,
dulu, aku lebih sering menghabiskan waktu di dunia nyata, daripada dunia maya.
Atau mungkin, waktu itu memang belum ada dunia maya?
Entahlah…
Dan dimana, hujan sudah reda, kita kembali ke rumah
dengan rasa was-was, mama pasti sudah menunggu di depan pintu rumah.
“Gak ada masa yang lebih keren, daripada
masa kecil; masa tanpa kemunafikan”.
Yoaaaaaa! Sebut saja kami: Pasukan pantang pulang sebelum maghrib.
Entah, tradisi atau semacam kebiasaan, adzhan
maghrib adalah bel kembali ke rumah, tak kenal apa agamamu, tak kenal apa warna
kulitmu, tak kenal dari mana asalmu. FPI
members may not have a childhood. Maybe.
Aku rindu masa-masa kecil dulu. Masa-masa yang telah
lama aku tinggalkan. Masa kecil yang penuh kenangan, menyenangkan, karena yang
menyakitkan tak pernah mau ku kenang, atau memang sebenarnya tak ada yang
menyakitkan.
Bertempat tinggal di desa, membuatku, mempunyai
banyak sekali teman sepermainan waktu itu. Tentunya, teman tanpa rekayasa, gak
seperti jaman sekarang, kebanyakan teman udah kayak sinetron, penuh rekayasa.
12:00 WIB. Bel pulang sekolah berbunyi.
Berarti. It’s time to rock!!
“Maem dulu baru maen,” kata Mama, waktu itu.
“Ya maaaaaaaaaaaa,” jawabku, sambil mengambil nasi
ke piring, sengaja kutuangkan sedikit, agar dikiranya itu adalah sisa makanan
yang baru aku makan. Males makan. Kehilangan semenit aja jam main itu kalo jaman
sekarang kayak udah kek seharian gak buka Twitter.
Tanpa sebuah komunikasi lewat handphone apalagi
dunia maya, kita berkumpul dengan lengkap. Aneh. Tapi ini pernah kita alami. Tanpa
handphone kita tetap manusia paling bahagia.
Tempat bermain kita gak netep, kita punya banyak
lahan untuk bermain. Bermain bola tanpa garis batas itu hal biasa yang kita
lakukan, mengingat berhektar-hektar lahan kosong, di desa kita.
Sedih, rasanya, sekarang tempat tanpa kemunafikan
itu sekarang sudah berbentuk beton. Ketika uang bisa membeli alam. Remaja
sekarang lebih memilih merasa hijau karena uang bukan karena Alam. Padahal alam
menyajikan apa yang gak bisa dibeli dengan uang.
Bermain di Lapangan
Hampir tiap hari, aku bermain dengan teman-teman
kampungku. Mereka ada banyak sekali. Kadang mereka membuatku tertawa, kadang
menangis. Tapi semuanya bagiku indah, semua yang aku lakukan bersama
teman-teman kampungku. Tak ada sedikit pun rasa dendam waktu itu.
Kami disini biasa bermain:
Lebih seru daripada Photobox. Apa hubungannya gue
juga gak tau.
Untuk memainkan permainan ini. Lo harus gesit!
Sebut saja si kucing penjaganya. Dan para kampret
adalah yang ngumpet.
Sejatinya, permainan kasti adalah memukul bola yang
dilempar lawan sejauh-jauhnya, tapi yang kami lakukan adalah melempar pemukul
sejauh-jauhnya.
Bermain di Sawah
kami juga suka menyatu dengan alam, dengan
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Meski siang-siang, terik matahari, panas, kami tak
peduli. Kami adalah sahabat matahari, tak ada yang perlu di takuti.
Lahan sawah yang habis di panen, serta habis diguyur
air hujan juga tempat favorit kita untuk bermain. Membentuk semacam danau. Yakali danau. Tepatnya,
semacam got berukuran besar. Pulang dengan gatal-gatal, dan baju putih yang
memudar. Dan sebuah omelan. Hal itu sangat menyenangkan
Timezone mah, lewaaaaaaaaaaaaaaaat!
"Mbok, sok gede aku pengin dadi Chef"
Dengan bumbu pisang dan daun-daun tanaman. Berlagak kek Chef Juna, padahal kek tukang pecel lele. Anak-anak mengosrang-ngosreng masakan, diatas wajan tanah liat.
Dengan bumbu pisang dan daun-daun tanaman. Berlagak kek Chef Juna, padahal kek tukang pecel lele. Anak-anak mengosrang-ngosreng masakan, diatas wajan tanah liat.
Bagi gue, mancing mania mah, gak ada kerennya. Mereka
Cuma mancing, terus dapet ikan gede, terus dikembaliin. Kita! Nyebur kali,
terjun langsung ke lapangan (makanya kita-kita cocok jadi pejabat, uhuk.),
tanpa mengenal gatal, tanpa mengenal campur air kencing orang, sampe ‘pup’ pun
kita terjang. Masa kecil tak terlupakan.
Sedikit yang mungkin bisa ngingetin kita sama
masa kecil :
Gue malah kasian sama anak kecil jaman sekarang,
yang masih kecil, tapi udah di kasih gadget, gak ada kerennya sama sekali. Mereka
berhak berkeringat, mereka berhak berteman dengan alam, mereka berhak tertawa
bersama di tanah lapang bersama burung-burung perkutut.
Semua permainan mereka udah tersedia di gadget, tinggal
nunggu waktu aja, apakah permainan petak umpet, permainan-nya juga ngikut
ngumpet?
Jaman udah berubah, kasian anak kecil jaman sekarang
yang banyak makan lagu cinta, bukannya makan kasih sayang. Kemaren, ngeliat ada
anak kecil di TV yang sangat histeris sampai nangis karena pengin ketemu Coboy
Junior? Aneh, hal yang tidak pernah gue alami waktu kecil dulu dan gak akan pernah
mau. Masa kecil gue dulu di obok-obok, bukan di eaaa-eaaaa.
"Kenapa
anak kecil selalu gembira? karena dia tidak memikirkan masa lalu atau
merisaukan masa depan"
Aduh, maaf, ternyata setelah dipikir-pikir. Perlu juga,
kata ‘Cinta’.
Yang nulis khilaf.
Aku ingin kembali ke masa kecil, saat cinta begitu asing di telinga. Hanya sebuah tawa yang bisa membuat aku bahagia, walau tanpa cinta.
"Masa kecil, masa dimana begitu sederhananya, dimana
ketika terjatuh hanya kaki yang terluka bukan hati"
Aku rindu masa kecilku, dimana aku gak butuh kamu,
yang nyakitin aku. Aku hanya butuh kamu, kamu, kamu teman-temanku.
Dan akhirnya, tulisan ini hanyalah sebuah nostalgia,
dimana gak mungkin kita balik ke masa lalu, kecuali reinkarnasi. Masa kecil
memang menyenangkan, tetapi.. masa depan harus jauh lebih menyenangkan. Hidup cuma
sekali. Sekali aja. Kalo mau tambah, ke rental PS aja J